Tentang Bahasa dan Mendengarkan

hashaanaa
4 min readFeb 2, 2023

--

“If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his own language, that goes to his heart.”

- Nelson Mandela.

Dulu aku sering mendapatkan komentar dari orang-orang terdekat bahwa aku cenderung gampang untuk mempelajari bahasa asing karena aku punya pendengaran yang bagus. Saat duduk di bangku kuliah aku baru memikirkan kebenaran tentang hal itu.

Bahasa, termasuk dalam banyak hal yang membutuhkan kemampuan mendengarkan. Dengan struktur kalimat yang berbeda-beda dari setiap bahasa di dunia, kita belajar untuk mendengarkan perkataan seseorang secara utuh untuk menangkap apa yang ingin mereka sampaikan.

Ketika memulai belajar bahasa Korea, struktur kalimatnya yang terbalik dari bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sempat membuatku berpikir besarnya kemungkinan seseorang menyela perkataan orang lain sebelum mereka menyelesaikan satu kalimat utuh. Namun kemudian aku membaca sebuah catatan dari pengajar bahasa Korea yang berkata:

“Jika orang yang kamu ajak berbicara memang tertarik dengan apa yang kamu katakan, mereka akan menunggu dan mendengarkan dengan seksama meskipun struktur kalimatnya membuat mereka sudah mengetahui sejak awal apa yang akan kamu sampaikan.”

Dari situ aku berpikir, mendengarkan adalah hal yang sangat sederhana. Didengarkan adalah suatu hal yang sangat membahagiakan. Tapi apakah cukup berhenti sampai di sana?

Proses belajar bahasa asing yang aku lakukan selalu dimulai dengan mendengarkan. Dulu ketika kecil, Papa sering memutar lagu-lagu berbahasa Inggris dari Michael Jackson, ABBA, Bee Gees, dan Michael Learns to Rock di pagi hari saat kami sedang bersiap untuk berangkat sekolah dan bekerja. Kebiasaan mendengar lagu berbahasa Inggris itu sangat membantuku familiar dengan bahasa Inggris, bahkan menangkap aksennya dengan mudah.

Tapi, beranjak dewasa aku menyadari bahwa mendengarkan tidaklah cukup. Mendengarkan tidak membuatku memahami makna kata-kata dan kalimat yang sampai di telingaku. Buktinya, saat kecil aku banyak menonton film-film berbahasa asing dan tidak ada kosakata yang bisa tinggal lama di otakku. Lalu, apakah itu meruntuhkan teori awal tentang mempelajari bahasa dengan mendengarkan?

Jawabannya, tidak.

Mendengarkan adalah sebuah usaha untuk membiasakan diri dengan sesuatu yang asing bagi kita. Mendengarkan adalah langkah pertama dari ribuan langkah yang harus ditempuh untuk mengenal bahasa asing. Mendengarkan akan merangsang ingatan, dan meskipun jika tidak ada satu spesifik kata yang terpatri dari proses mendengarkan, otak akan menyimpan memori yang terlekat dengan apa yang kita dengarkan, mengasosiasikan sebuah perasaan dan situasi di sekitar kita dengan satu kata atau satu kalimat yang sampai di telinga. Untuk itu semua, mendengarkan sama sekali bukan kegiatan yang sederhana.

Lalu, ketika aku membagikan cerita kegemaranku untuk mempelajari bahasa baru pada seorang teman, dia bertanya, “Apa iya mempelajari bahasa baru akan bisa mencegah atau mengobati penyakit Alzheimer dan Demensia?”

Demensia adalah sebuah istilah untuk mendeskripsikan gangguan dalam kerja otak yang membuat seseorang sulit berkomunikasi. Beberapa menyebut Demensia adalah istilah lain dari kepikunan. Sedangkan Alzheimer adalah salah satu bentuk Demensia yang menargetkan bagian otak yang mengontrol kemampuan seseorang untuk berpikir, mengingat, dan berkomunikasi dengan bahasa.

Aku memikirkan jawabannya dengan logika sederhana. Jika mempelajari bahasa asing dapat melatih, mengasah, bahkan menuntut otak untuk memasukkan informasi-informasi baru yang selama ini belum ada dalam koleksinya, maka kegiatan itu akan membantu memperkuat saraf dan sirkuit otak, dan mungkin dapat membantu mencegah gejala awal Demensia. Tentunya bukan mengobati.

Kemudian dari apa yang aku rasakan dalam mempelajari bahasa asing menggunakan metode mendengarkan, proses itu mengaktifkan ingatan atas semua yang terjadi di sekitar kita. Seperti ketika kita pernah mendengarkan sebuah lagu untuk pertama kalinya di suatu tempat, lalu saat kita mendengarkan lagu itu lagi kita akan mengingat situasi yang kita alami yang secara tidak sengaja kita ingat bersamaan dengan lagu tersebut. Pengalaman semacam itu mungkin juga bisa menajamkan otak. Setidaknya dalam pemikiran sederhanaku.

Namun kadang aku sendiri pun berpikir, “Mengapa aku suka sekali mempelajari bahasa asing?”

Satu hal yang terbersit di pikiranku adalah karena tidak ada yang menuntutku untuk melakukannya. Aku melakukannya karena keinginanku sendiri untuk memahami dunia yang amat luas. Karena mempelajari bahasa asing tidak hanya mempelajari cara berkomunikasi, tapi juga mempelajari budaya yang mendalam terhadap suatu negara atau kelompok yang menggunakan bahasa yang kita pelajari.

Sesuatu yang cukup mengejutkan yang aku dapatkan dari mempelajari bahasa asing adalah menganalisa bagaimana sebuah kata atau ekspresi terbentuk, bagaimana setiap kata adalah seni yang terkurasi menjadi sebuah tatanan yang dapat diartikan berbeda oleh setiap orang yang berasal dari latar belakang yang beragam. Kemudian semuanya mengembalikanku pada bahasa Indonesia yang tidak kalah menarik, bahkan merupakan salah satu bahasa terindah yang mekar dari banyak akar, yang sekaligus juga menjadi ibu dari bahasa-bahasa turunannya.

Belajar banyak bahasa asing tidak akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi, setidaknya itu yang aku simpulkan sendiri. Kemampuan berkomunikasiku masih sama seperti sebelumnya. Tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk. Mungkin sedikit membaik setiap tahunnya, namun tidak pernah meningkat secara drastis. Tapi belajar bahasa asing mengajakku berempati.

Bahasa sering menjadi sebuah penghalang. Karakter dan huruf pada beberapa bahasa yang tidak sama dengan bahasa lainnya, menjadi kesulitan tersendiri bagi seseorang untuk mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya. Bahkan yang memiliki huruf yang sama pun masih merasa kesulitan menangkap bahasa asing, atau malah hanya sekadar memahami aksen yang berbeda.

Dengan kapasitas untuk memahami semua dalam perjalananku mempelajari bahasa asing, aku bersyukur diberikan kemampuan untuk menangkap bahasa dengan mudah lewat pendengaran dan kemampuan lain dalam diriku yang bahu-membahu menghimpun bahasa-bahasa asing untuk masuk dalam koleksi otakku.

Mempelajari bahasa asing mengizinkanku untuk berbicara dengan banyak orang dari berbagai negara, memahami apa yang mereka katakan, mungkin membantu apa yang mereka butuhkan, mendengarkan apa yang mereka keluhkan, dan memberikan balasan yang akan menenangkan hatinya.

Setidaknya mungkin aku ingin melakukan hal itu, karena tidak banyak orang yang melakukannya padaku.

--

--